Syarikah secara bahasa artinya perkumpulan atau
persekutuan. Syarikah ini terjadi karena berdasarkan pilihan atau kesepakatan
antara dua orang atau lebih. Adapun jika yang dimaksudan di sini adalah
syarikah (serikat) pada harta pusaka antara beberapa ahli waris maka hak
memilih tidak ada lagi.
Sedangankan
Wakalah secara bahasa artinya menyerahkan dan menjaga. Sedangkan menurut
istilah, wakalah adalah menjadikan orang lain menempati posisinya, baik secara
mutlah atau tidak.
Hadis
1
Rasaulullah saw bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( قَالَ اَللَّهُ: أَنَا ثَالِثُ
اَلشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ, فَإِذَا خَانَ خَرَجْتُ
مِنْ بَيْنِهِمَا ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ
Dari Abu Hurairoh ra, ia berkata.” Rasulullah saw bersabda,” Allah
berfirman,’ aku menjadi pihak ketiga
dari dua orang yang bersekutu selama salah seorang dari mereka tidak berkhianat
kepada mitranya, jika ada yang berkhianat, aku keluar dari ( persekutuan)
mereka.” ( HR. Abu Dawud dishahihkan oleh Al-Hikim).
Penjelasan kalimat
“ Dari Abu Hurairah ra, ia berkata , Rasulullah saw
bersabda, “ Allah berfirman, ‘ aku renjadi pihak ketiga dari dua rang yang
bersekutu selama salah satu dari mereka tidak berkhianat pada mitranya. jika
ada yang berkhianat, aku keluar dari (persekutuan). HR.Abu DAwud dan di sahkan
oleh AL-Hakim.
ibnu Al-Qathahan
menta’lilnya dengan ketidak jelasan status Sa’id bin Hayan yang mana anak Sa’id–
Abu Hayan bin Sa’id telah meriwayatkan hadis darinya. Dan disebutkan pula bahwa
Al-Harits bin Syuraid meriwayatkan hadis darinya, akan tetapi di anggap mursal oleh
Ad-Daraqutni. Sehinnga tidak disebutkan nama Abu Hurairoh dalam riwayat tersebut.
Sedangkan dia mengatakan hal tersebut benar adanya.
Makna Hadis” sesungguhnya Allah bersama keduanya
“yakni dalam hal
pemeliharaan, pengayoman, dan pemberian bantuan harta pada kepada keduanya
serta menurunkan barkah dalam perdagangan keduamnya. Sehinggah, ketika terjadi
pengkhianatan maka barkah harta keduananya dicabut.
Dalam hadis di atas terdapat anjuran untuk bersyarikat
(dalam hal muamalah/ perniagaan) tanpa ada pengkhianatan ancaman bagi mereka
yang berkhianat dalam persyarikatan yang mereka lakuakan. Bersyarikat merupakan
usaha terpuji dan diridohi oleh Allah, Allah memebrikan barkah kepada orng yang
bersekutu dalam usaha bisnis selama semua orang yang bersekutu itu sama-sama
jujur, iklasa dan rukun dan orang yang berkhianat dalam bersyarikat di murkahi
oleh Allah.
Hadis 2
وَعَنْ اَلسَّائِبِ بْنِ
يَزِيدَ اَلْمَخْزُومِيِّ ( أَنَّهُ كَانَ شَرِيكَ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
قَبْلَ اَلْبَعْثَةِ, فَجَاءَ يَوْمَ اَلْفَتْحِ, فَقَالَ: مَرْحَباً بِأَخِي
وَشَرِيكِي ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَابْنُ مَاجَةَ
Dari As-Saib Al-Makhzumira, bahwa ia dahulu adalah
mitra Nabi saw sebelum ia di angkat menjadi Rasul. Ketika ia datang pada hari
penaklukan kota mekkah, maka beliau bersabda “ selama datang saudarahku dan
mitraku .“ (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Penjelasan
Menurut
Ibnu Abdil Barr, As-Saib bin Ubai as-saib termasuk orang yang baru memeluk
Islam dengan baik keislamananya serta dia termasuk orang yang di makmurkan. Ia
hidup di zaman muawiyyah. Pada masa awal keislamannya dia menjadi mitra bisnis
Nabi Saw. Sehingga saat terjadi fathul makkah beliau bersabda
“selamat
datang saudarakudan mitraku yang tidak mmbantah dan mendebat”
Hadis
tersebut di-shahihkan oleh Al-Hakim, sedangkan menurut riwayat ibnu Majah
dinyatakan dengan lafazh “engkau dahulu menjadi mitraku di masa jahiliyah”
Hadis
di atas menunjukkan bahwa fenomena bersarikat telah ada sebelum Islam datang
kemudian syatriat Islam menetapkan hal tersebut.
Hadis 3
َوَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ: (
اِشْتَرَكْتُ أَنَا وَعَمَّارٌ وَسَعْدٌ فِيمَا نُصِيبُ يَوْمَ بَدْرٍ )
اَلْحَدِيثَ رَوَاهُ النَّسَائِيُّ وَغَيْرُهُ
Dan dari Abdullah bin
Mas’ud Ra, ia berkata, “saya bersekutu dengan Ammar dan saad dalam hata
rampasan yang kami peroleh dari perang badar. (HR. An-Nasai)
Penjelasan kalimat
Dan
dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Aku, Ammar, dan Sa’d
bersekutu dalam harta rampasan yang kami peroleh dari perang Badar (Kisah
lengkapnya, kemudian Sa’d datang dengan membawa dua tawan an, sedangkan aku dan
Ammar tidak membawa tawanan sama sekali).
Dalam
hadits tersebut terdapat dalil yang menunjukkan sahnya berserikat dalam hal
mata pencaharian yang disebut dengan syarikah abdan. Adapun bentuk dari
syarikah ini dalam setiap pihak mewakilkan mitranyauntuk menerima dan bekerja
atas namanya dalam hal tertentu, sedangkan keduanya menentukan jenis usahanya.
Sebagian besar kalangan Al-Hadawiyah dan Abu Hanifah berpendapat bahwabentuk
syarikah seperti ini hukumnya boleh (sah). Sedangkan Asy-Syafi’i berpendapat
bahwa hal tersebut tidak sah dengan alasan karena syarikah seperti itu
terbangun atas ketidakjelasan ketika keduanya tidak dapat memastikan pendapat
keuntungan dan kemungkinan adanya rintangan dalam bekerja. Pendapat ini juga
didukung oleh Ibnu Tsaur dan Ibnu Hazm.
Ibnu
Hazm mengatakan bahwa berserikat dengan badan pada asalnya tidak boleh dalam
bentuk apapun, dan bila hal tersebut terjadi maka dianggap batil sehingga tidak
mempunyai sifat yang mengikat. Setiap orang dari keduanya memperoleh hasil
sesuai dengan upaya yang dilakukannya, bila keduanya membagi dua bagian maka
wajib diputuskan kadar bagian yang diambilnya, karena syarat yang tidak sesuai
apa yang telah ditentukan Akitab Allah, maka kedudukannya batal secara hukum.
Adapun hadits Ibnu Mas’ud merupakan riwayat dari anaknya yaitu Abu Ubaidah bin
Abdillah yang termasuk bentuk khabar yang mungqathi’ (terputus). Karena
Abu Ubaidah tidak menyebutkan dari bapaknya sedikitpun, sedangkan kami telah
meriwayatkannya dari jalur Waqi’ dari Syu’bah dari Amr bin Murrah. Ia berkata,
“Aku berkata kepada Abu Ubaidah, “Apakah engkau mengatakan sesuatu dari
Abdullah?” Dia menjawab, “Tidak.” Kalaulah kabar tersebut benar maka menjadi
dalil bagi pihak yang memandang sah serikat seperti ini. Karena mereka orang
pertama yang bersama kita, dan umat Islam yang menyatakan bahwa berserikat
seperti ini tidak dibolehkan serta para pasukan tidak dapat menyendiri menerima
hasil rampasan, kecuali harta yang dipakai orang yang tertawan bagi pejuang
yang membunuh disertai dengan adanya perbedaan pendapat dari para ulama. Bila
hal tersebut dilakukan maka termasuk bentuk perilaku pencurian (ghulul)
dan dosa besar. Karena bentuk serikat seperti ini bila dibenarkan oleh hadits
tersebut, maka telah dibatalkan oleh Allah Ta’ala yang telah menurunkan
firmanNya,
“Katakanlah,
“Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul.”(QS. Al-Anfal : 1)
Allah
membatalkan hal tersebut, kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membaginya
kepada para pasukan yang berjihad.
Kemudian
kalangan Al-Hanafiyah tidak membolehkan berserikat dalam berburu, sedangkan
kalangan Al-Malikiyah tidak membolehkan bekerja dalam dua tempat. Bentuk
serikat seperti ini sebagaimana dalam hadits tidak dibolehkan menurut kalangan
mereka.
Ulama
membagi bentuk serikat menjadi empat bagian yang dipaparkan panjang lebar dalam
buku-buku mereka. Ibnu Baththal mengatakan, “Ulama sepakat bahwa bentuk serikat
yang benar hendaknya tiap pihak mengeluarkan modal seperti yang dikeluarkan
mitranya kemudian dicampur hingga tidak dapat dibedakan. Selanjutnya harta
tersebut diinfestasikan oleh keduanya, hanya saja masing-masing pihak menempati
posisi mitra kerjanya yang disebut sebagai Syarikat ‘Inan. Disahkan pula
bila salah satu pihak mengeluarkan modal yang lebih kecil dibandingkan mitra
kerjanya, sedangkan keuntungan dan kerugian disesuaikan dengankadar modal yang
diberikan. Begitu pula halnya bila keduanya sama-sama membeli barang dagangan
atau salah satu pihak menjual barang lebih banyak dibandingkan yang lain.
Sehingga dapat disimpulkan setiap orang menerima keuntungan dan kerugian sesuai
kadar harga yang telah dibayarkan. Lebih jelasnya, bila kedua pihak mencampur
kedua modal maka menjadi kesatuan bersama, kapan saja keduanya menjual dari
harta tersebut maka hasilnya dibagi antara keduanya. Dan bila hal tersebut
merupakan bagian harga dan keuntungan atau kerugiannya, maka dibagi pula bagi
keduanya, begitu pula dengan barang dagangan yang dibeli sebagai ganti harga
yang dimiliki.
Hadis
4
وَعَنْ جَابِرِ بْنِ
عَبْدِ اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- ( قَالَ: أَرَدْتُ اَلْخُرُوجَ إِلَى
خَيْبَرَ, فَأَتَيْتُ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: إِذَا أَتَيْتَ
وَكِيلِي بِخَيْبَرَ, فَخُذْ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَ وَسْقًا ) رَوَاهُ
أَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ
Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku akan
keluar menuju Khaibar, lalu aku menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
dan beliau bersabda: "Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah
darinya 15 wasaq." Hadits shahih riwayat Abu Dawud.
Penjelasan
Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku akan
keluar menuju Khaibar, lalu aku menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
dan beliau bersabda: "Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah
darinya 15 wasaq." Hadits shahih riwayat Abu Dawud.
(Hadis ini secara lengkapnya:”bila ia menginginkan satu ayat
darimu maka letakkanlah tangan mu di atas tengkuknya”)
Tafsir Hadis
Hadis ini meupakan dalil yang menunjukkan sahnya wakalah
(perwakilan). Para ulama sepakat tentang sahnya wakalah ini. Dan hukum-hukum
tentang masalah ini sangant terkalit dengan orang yang mewakilkan. Dalam
lanjutan hadis trdapat dalil petunjuk untuk berbuat dengan isyarat petunjuk
dengan harta orang lain dan Rasul menerima sadaqah dengan adanya beliau
meneriman adanya barang tersebut. Sebagaian jamaah para Ulama mengatakan bahwa
Rasul menerima sadaqah dari barang tersebut. Al Mahdi mengaitkan dalam kitab
Al-ghaits disetai dengan penuh dugaan yang membenarkannya. Sedangkan Al
Hadawiyah berpendapat tidak boleh bersedekah kepada Rasulullah karena itu merupakan
Harta orang lain. Di katakan oleh sebagian mereka : Hanya saja terdapat
persangkaan bahwa Nabi memerima Sadaqah maka niscaya dibolekan memberinya.
Sumber
:
- Subulus
Salam, Muhammad ash-shan’aniy
- Hadist
Tarbiyah
0 komentar:
Posting Komentar