Pendahuluan
Pendidikan
merupakan komponen penting dalam mencerdaskan kehidupan anak bangsa, dari yang
tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang tidak
paham menjadi paham. Maka dari itu tak jarang pendidkan akan menjadi sasaran
utama kenapa seseorang pandai atau bahkan sebaliknya kurang pandai.
Selain
genre pendidikan secara umum pendidikan agama terutama pendidikan agama
Islam pun demikian. Lebih luas lagi, pendidikan agama Islam tidak hanya
berperan dalam rana kognitif peserta didik semata namun juga rana afektif dan
psikomotoriknya. Peran ini semakin komplek dengan tantangan zaman yang semakin
menggelobal, dimana peran pendidikan agama Islam akan dihadapkan dengan budaya,
baik budaya lokal maupun budaya yang datang dari luar yang semakin menggelobal.
Tak
ayal pendidikan Islam selalu menjadi sorotan dalam merubah akhlak peserta
didik. Sehingga peran pendidikan agama Islam akan selalu dipertanyankan,
seberapa jauh peran pendidikan Islam bagi kebaikan akhlak peserta didik?
Pendidikan Agama Islam
Pendidikan
merupakan komponen yang telah membangun bangsa ini menjadi besar dan berkembang
sampai saat ini. Dari golongan terdidik Negara ini merdeka, dari golongan
terdidik Negara ini mencapai kejayaan sampai saat ini.
Salah
satu komponen pendidikan yang patut menjadi dasar pembentukan akhlak pesert
didik adalah pendidikan agama terutaama
pendidikan agama Islam. Pendidikan agama Islam adalah kegiatan mendidikan agama
Islam atau dengan kata lain kegiatan atau usaha-usaha dalam mendidikan agama
Islam[1].
Tafsir mengemukakan Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar
untuk menyiapkan siswa agar memahami ajaran Islam (knowing), terampil
melakukan ajaran Islam (doing), dan melakukan ajaran Islam dalam
kehidupan sehari-hari (being).
Adapun
tujuan pendidikan agama Islam di sekolah umum adalah untuk meningkatkan
pemahaman, keterampilan melakukan, dan pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan
sehari-hari. Tujuan utama pendidikan agama Islam di sekolah ialah keberagamaan,
yaitu menjadi muslim yang sebenarnya. Keberagamaan inilah yang selama ini
kurang di perhatikan.[2]
Sedangkan el-Basyi membagi tujuan pendidikan agama Islam menjadi
dua yakni tujuan umum dan tujuan khusus, adapun tujuan umum antara lain
a.
Membantu pembentukan akhlak mulia
b.
Persiapan untuk kehidupan akhirat
c.
Persiapan mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi manfaat
d.
Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajar dan memuaskan untuk mengetahui
dan mengkajinya
e.
Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis dan menguasai
profesi tertentu.
Adapun tujuan pendididikan agama Islam secara khusus adalah:
a.
Pembinaan warganegara yang mukmin kepada negaranya.
b.
Pembinaaan Muslim yang berpegang teguh pada agamanya dan berakhlak
mulia
c.
Pembinaan warganegara yang kuat, sehat dan padan
d.
Pembinaan pribadi yang sehat
jasmani dan rohani.
e.
Pembinaan warganegara yang disenjatai dengan ilmu pengetahuan.
f.
Penciptaan warganegara yang terdidik pada perasaan, keindahan dan
seni
g.
Pembentukan warganegara yang menghargai kepentingaan keluarga,
bertanggung jawab, rela berkorban untuk mencapai kemakmuran bagi masyarakat dan
dirinya.[3]
Dari
tujuan-tujuan yang diungkapkan El-bisyri akhlak menempati posisi pertama dari
pendidikan agama Islam. Karena pendidikan agama Islam tidak hanya bertujuan
untuk membentuk muslim yang berkualitas kognitifnya semata namun juga afektif
dan psikomotorik.
Akhlak
Akhlak secara bahasa adalah
mashdar dari akhlaqa- yukhliqu- ikhlaqan, artinya sesuai dengan
timbangan (wazan) tsulasi majid af’ala - yuf’ilu- if’alan yang berarti al-sajiyah
(perangai), at-thabi’ah (kelakuan, tabi’at, watak dasar), al-adat
(kebiasaan, kelaziman), al-muru’ah (peradaban yang baik) dan al-din
(agama).
Dalam kitab Daaratul Ma’arif, secara singkat akhlak diartikan, “Sifat-sifat manusia yang terdidik”. Akhlak
secara istilah menurut beberapa ahli:
1. Ibnu Maskawih dalam buku Tahzib al Akhlaq wa
Tathhir al-A’rab, “ Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk
melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.
2. Imam Ghazali dalam buku Ihya’ Ulumuddin,
“Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan baik
atau buruk tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”.
3.
Mu’jam al-Wasith,” Sifat yang tertanam dalam jiwa, yang degannya
lahirlah macam-macam perbuatan baik atau buruk tanpa pemikiran dan
pertimbangan”.
4.
Sementara itu Prof. Dr. Ahmad Amin membuat definisi bahwa yang
disebut “akhlak” ialah “Adatul-Iradah” atau “kehendak yang dibiasakan”.
Definisi ini terdapat dalam suatu tulisannya yang berbunyi, “Sebagian orang
membuat definisi akhlak, bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang
dibiasakan. Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu
disebut akhlak”.
Akhlak
merupakan bagian dari pokok ajaran agama Islam, sebagaimana Nabi SAW bersabda “aku
diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak”. Tobroni menyatakan
pentingnya akhlak adalah nomor dua setelah iman. Seseorang tidak dikatakan
beriman kepada Allah kecuali ia berakhlak mulia. Sebab di antara tanda-tanda
iman yang paling utama tertelak pada akhlak yang mulia, dan di antara
tanda-tanda nifak yang paling menonjol adalah akhlak yang buruk. Di antara
perhiasan yang paling mulia bagi manusia setelah iman, taat dan takut kepada
Allah adalah akhlak yang mulia. Dengan akhlak terciptalah kemanusiaan manusia
dan sekaligus membedakan dengan binatang, dalam al-Quran terdapat 1504 ayat
atau hampir ¼ keseluruhan ayat dalam al-Quran yang berhubungan dengan akhlak
baik dari segi teori maupun praktis. Hal ini tidak berlebihan sebab visi
kenabian Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak. Itulah sebabnya
secara tegas Allah menyatakan bahwa: “engkau (Muhammad) benar-benar berada
dalam akhlak yang agung” (Q.s. al-Qalam: 4)[4].
Pendidikan
Agama Islam Dan Akhlak
Ruang
lingkup pendidikan agama Islam mencakup tiga domain, yaitu
1.
Kepercayaan (I’tiqadiyah), yang berhubungan dengan rukun
iman, seperti iman kepada Allah, iman kepada Malaikat-Nya, iman kepada
Kitabullah, iman kepada Rasulullah, iman kepada kepada Hari berbangkit, dan iman
kepada Takdir.
2.
Perbuatan (‘amaliyah), yang terbagi dalam dua bagian: 1.
Masalah ibadah, berkaitan dengan rukun Islam, seperti syahadat, shalat, zakat,
puasa, haji dan ibadah-ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT.
2. Masalah muamalah, berkaitan interaksi manusia dengan sesamanya, baik
perseorangan maupun kelompok seperti akad, pembelanjaan, hukuman, hukum jinayah
(pidana dan perdata).
3.
Etika (khuluqiyah), berkaitan dengan kesusialaan, budi
pekerti, adab, atau sopan santun yang menjadi perhiasan bagi seseorang dalam
rangka mencapai keutamaan. Nilai-nilai seperti kejujuran (shidiq), percaya
(amanah), adil, sabar, syukur, pemaaf, tidak tergantung pada materi (zuhud),
menerima apa adanya (qanaah), berserah diri pada Allah (tawakkal),
malu berbuat buruk (haya’), persaudaraan (ukhuwah), tolong
menolong, dan saling menanggung adalah seluruh bentuk budi pekerti yang luhur (akhlaq
al-mahmudah).[5]
Komponen
akhlak merupakan bagian ketiga dari pendidikan agama Islam, namun sebagaiman
tobroni mengungkapkan, masalahnya adalah ada kecenderungan dari kehidupan
manusia untuk lebih mengutamakan aspek-aspek jasmani dan intelektual dari pada
masalah moral. Karena yang terakhir ini (moral) lebih abstrak dan memerlukan
pengertian yang mendalam untuk memahami arti pentingnya. Proses pendidikan
sering kali mengalami pendangkalan makna menjadi pengajaran yang bersifat transfer
of knowlodge yang bebas nilai dan bukan lagi interaksi edukatif yang sarat
dengan nilai-nilai moral. Padahal fungsi agama yang utama adalah sebagai
petunjuk (hudan).[6]
Muchtar
bahtiar menilai pendidikan agama Islam di sekolah masih gagal. Kegagalan ini disebabkan
karena praktek pendidikannya masih memperhatikan aspek kognitif semata dari
pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama), dan mengabaikan pembinaan aspek
afektif dan konatif-volitif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan
nilai-nilai ajaran agama. Akhirnya mengalami kesenjangan antara pengetahuan dan
pengalaman, antara gnosis dan praxis dalam kehidupan nilai agama
atau dalam praktek pendidikan agama berubah menjadi pengajaran agama sehingga
tidak mampu membentuk pribadi yang bermoral. Padahal inti sari dari pendidikan
agama adalah pendidikan moral.[7]
Muhammad
Maftuh Basyumi (Tempo, 24 November 2004) bahwa pendidikan agama yang berlangsung
saat ini cenderung lebih mengedepankan aspek kognisi (pemikiran) dari pada
afeksi (rasa) dan psikomotorik (tingkah laku). Menurut Komarudin Hidayat pendidikan
agama lebih berorientasi pada belajar tentang agama, sehingga hasilnya banyak
orang mengetahui nilai-nilai ajaran agama, tetapi perilaku tidak relevan dengan
nilai-nilai ajaran agama yang diketahuinya.[8]
Bagaimana
mengembalikan benang yang hampir putus antara pendidikan agama Islam dengan
akhlak? Terdapat tiga komponen yang yang menjadi peran penting dalam proses
internalisasi nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam pendidikan agama
Islam,yakni
a.
Pendidik (Guru)
Guru
dituntut untuk selalu efektif dalam mengembangkan pendidikan agama Islam. Guru
yang efektif adalah yang dapat menunaikan tugas dan fungsinya secara profesional.
Guru yang efektif memiliki ciri (1) hubungan guru dan murid:
bersahabat, menjadi mitra, belajar sambil menghibur murid, menyayangi murid
sebagaimana anak sendiri, adil dan memahami
kebutuhan setiap anak dan memberikan bagi anak didik. (2) berkaitan dengan
tugasnya sebagai guru: mencintai pekerjaannya, cakap secara akademik, mampu menerangkan
dengan jelas, mampu merangsang siswa untuk belajar, mampu memberikan sesuatu
pada siswa yang paling berharga, mampu menjadikan kelas sebagai tempat yang
menyenangkan. (3) berkaitan dengan sikap dan kepribadian: penampilan menarik,
tidak terlalu kaku, bisa menjadi teladan bagi siswa.
Maka pemberdayaan
guru merupakan suatu yang niscaya dilakukan. Pendekatan yang perlu dilakukan
dalam pemberdayaan guru setidaknya tiga pendekatan: pendekatan menurut tujuan
(organisasi), pendekatan teori sistem (organisasi) dan pendekatan budaya
organisasi. Dan langkah-langkah yang perlu ditempuh antara lain, meningkatkan
kesejahteraan guru, pengembangan karir guru, peningkatan kemampuan para guru
dan mengatasi beban psikologis guru.[9]
b.
Peserta didik
Dalam
proses belajar-mengajar, seorang pendidik sedapat mungkin mampu memahami
hakikat peserta didiknya sebagai subjek atau objek pendidikan. Kesalahan dalam
memahami peserta didik dapat berakibat fatal bagi proses pendidikan terutama
proses pendidikan akhlak terhadap peserta didik.
Karakter
peserta didik antara lain; pertama, peserta didik bukan miniatur orang
dewasa, dia mempunyai dunia sendiri sehingga metode belajar mengajar tidak
boleh disamakan dengan orang dewasa. Kedua, peserta didik memiliki
kebutuhan dan menuntut untuk memenuhi kebutuhan itu semaksimal mungkin. Ketiga,peserta
didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain. Keempat,
peserta didik dipandang sebagai satu kesatuan sistem manusia. Kelima, peserta didik merupakan objek
sekalis subjek dalam pendidikan yang dimungkinkan dapat aktif, kreatif dan
produktif. Keenam, peserta didk mengikuti periode-periode perkembangan
tertentu serta mempunyai pola perkembangan dan tempo serta iramanya.[10]
c.
Metode
“metode
lebih penting dari materi”, begitulah bunyi salah satu hikmah. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya metode dalam belajar mengajar. Tujuan dari metode
pendidikan agama Islam adalah menjadikan proses dan hasil belajar mengajar
agama Islam lebih berdaya guna dan berhasil guna dan menimbulkan kesadaran pada
peserta didik untuk mengamalkan ajaran agama Islam. Sedang fungsi metode
sendiri adalah mengarahkan keberhasilan pendidikan, memberikan kemudahan kepada
peserta didik untuk belajar berdasarkan minat, serta didorong usaha kerja sama
dalam kegiatan belajar antara peserta didik dan pendidik.[11]
Kesimpulan
Dari
uraian di atas penulis menyimpulkan
1.
akhlak tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan agama Islam karena
akhlak merupakan bagian bahkan tujuan dari pendidikan agama Islam.
2.
Pendidikan agama Islam berperan besar dalam membentuk akhlak
peserta didik
3.
Pendidikan sat ini masih banyak menekankan pada aspek kognitif padahal
pendidikan agama Islam tidak hanya penyampaian pengetahuan akan tetapi
penyampaian nilai-nila Islam terhadap peserta didik
4.
Pendidik, peserta didik, dan metode merupakan bagian yang tidak
terpisahkan agar pendidikan agama Islam mampu membentuk akhlak yang baik bagi
peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2008. Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Tobroni. 2008. Pendidikan Islam;
Paradigma Teologis, filosofis dan Spiritualitas. Malang: UMM Press
Muhaimin.2010. pengembangan kurikulum
pendidikan agama Islam di sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta.
Rajawalipress
Tafsir. A.___. Pendidikan Agama Islam.
PDF
2 komentar:
Iron-Titanium-Arbit Software | Titanium Arts
Titanium-Arbit is a leader in everquest: titanium edition online fram titanium oil filter gaming and is titanium pen a leading provider of high-quality, lightweight and flexible titanium guitar chords graphite. The Iron-Titanium-Arbit camillus titanium knife Software
mj818 adidas fußballschuhe,michael kors satovi,lotto spor ayakkabı,autry chile,autry türkiye,moon boots womens uk,russell and bromley deutschland,tecovas cowboy boots,arkk copenhagen paris ju194
Posting Komentar